Ada yang harus kuungkapkan tentang mimpi-mimpiku
Bercerita soal kehidupan di atas pulau biru
Pulau yang indah bagai sorga manusia bijaksana
Hidup penuh dengan kesenangan nggak pernah salah paham
Lirik lagu Pulau Biru dari album Kampungan kelompok musik Slank seolah mewakili perasaan Neneng, Maksimus, Ivan, Yepo, Roberto, Spek, dan Ditron, saat tiba di Dili, Timor Leste. Tujuh Slankers asal Kupang, Nusa Tenggara Timur itu gembira bisa bertemu dengan teman-teman sesama penggemar Slank di negeri yang dulunya bernama Timor-Timur. Tak ada permusuhan, dendam ataupun rasa curiga. Semuanya masih sama seperti bertahun-tahun lalu saat mereka bebas datang ke Dili tanpa perlu repot-repot membuat paspor dan menjalani pemeriksaan ketat di perbatasan.
“Pokoknya katong tetap satu darah. Biarpun ada perbatasan, Slankers Kupang dan Timor Leste bersaudara,” teriak Roberto dan kawan-kawan disambut teriakan “damai” dari ratusan slankers yang berkumpul di markas mereka. Bersama-sama mereka mengumandangkan lagu Pulau Biru sambil mengibarkan dua bendera, bendera merah putih dan bendera Timor Leste. Kibaran dua bendera ini pula terlihat di antara ribuan penonton yang memadati konser Slank.
Kisah tujuh Slankers-sebutan buat para penggemar Slank- asal Kupang ini tertuang dalam film dokumenter Metamorfoblus. Film yang disutradarai Dosy Omar ini mencoba mengungkapkan sisi lain kehidupan Slankers dan fanatisme mereka terhadap grup band yang digawangi Kaka, Bimbim, Ivanka, Abdee, dan Ridho itu. “Film Metamorfoblus mencoba membuktikan kalau kekuatan lirik dan syair dari Slank itu mampu melunturkan batasan bilateral,” jelas Dosy saat pemutaran film dan konferensi pers di Gedung Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail, Jakarta, Kamis (21/10) lalu.
Ursula Tumiwa dari Rumah Pohon Indonesia yang memproduseri film ini mengatakan Metamorfoblus merupakan salah satu bentuk apresiasi terhadap Slank sebagai salah satu band rock terbesar di Indonesia. Proses pengumpulan dokumen dan pengambilan gambar-termasuk mewawancara sejumlah Slankers di sejumlah daerah di Indonesia dilakukan sejak 2008 lalu, berbarengan dengan pembuatan film Generasi Biru. Proses editing Metamorfoblus sekitar dua tahun, lantaran Dosi harus memilah-milah materi terbaik yang terekam dalam hampir 200 kaset.
Awalnya, Dosy hanya ingin membuat video tentang perjalanan grup band yang bermarkas di Gang Potlot ini.Tapi kemudian dalam pembuatan video tersebut, Dosy justru banyak merekam kegiatan Slankers. Akhirnya cuplikan-cuplikan video itu digabungkan dengan kisah para personel Slank dan dibuat menjadi film dokumenter.
Jika dalam film sebelumnya, Generasi Biru, Dosy bersama sutradara Garin Nugroho dan John De Rantau mengajak penonton menikmati karakter personil Slank melalui banyak tarian, lagu-lagu dan simbol-simbol, maka Metamorfoblus lebih mengungkap bagaimana mereka mempengaruhi dan menyentuh kehidupan banyak orang. Tidak hanya para personal, mantan personel, dan orang-orang terdekat mereka, tapi juga jutaan penggemar setia yang disebut Slankers.Inilah generasi muda, generasi biru yang merindukan kedamaian. Jumlahnya dari tahun ke tahun terus bertambah. “Seperti virus yang menyebar,” kata Kaka, sang vokalis.
Jika dalam film sebelumnya, Generasi Biru, Dosy bersama sutradara Garin Nugroho dan John De Rantau mengajak penonton menikmati karakter personil Slank melalui banyak tarian, lagu-lagu dan simbol-simbol, maka Metamorfoblus lebih mengungkap bagaimana mereka mempengaruhi dan menyentuh kehidupan banyak orang. Tidak hanya para personal, mantan personel, dan orang-orang terdekat mereka, tapi juga jutaan penggemar setia yang disebut Slankers.Inilah generasi muda, generasi biru yang merindukan kedamaian. Jumlahnya dari tahun ke tahun terus bertambah. “Seperti virus yang menyebar,” kata Kaka, sang vokalis.
Dalam membuat Metamorfoblus, Dosy mengambil tiga tema yaitu kekerasan, narkoba dan perdamaian. Di film itu dikisahkan bagaimana Slankers dan Slank bergelut di tiga tema tersebut. Dosy memilih beberapa orang Slankers yang dianggap pas mewakili para Slankers di seluruh Indonesia. Selain Slankers asal Kupang, kita juga diajak berkenalan dengan Joker, Slankers asal Batam yang berprofesi sebagai polisi dan Andi , Slankers asal Bantul, Jogjakarta .
Dari mereka kita bisa melihat kuatnya ikatan misterius antara Slankers dengan grup band pujaannya itu. Mereka tak sekedar mendengarkan lagu-lagu tapi juga mencerna ide-ide, kritik, dan aspirasi yang disampaikan grup band pujaannya itu. Ide-ide itu kemudian oleh Slank dirumuskan sebagai virus PLUR-Piss (Peace), Luv (Love), Uniti (Unity) dan Respek (Respect) . Virus Plur yang menyebar lewat teriakan Kaka dari atas panggung maupun bait-bait lagu itu menerabas segala bentuk sekat, masuk ke dalam kesadaran terdalam para Slankers, mengubah dan membentuk hidup mereka.
Lihatlah bagaimana Joker, seorang polisi residen khusus 88 yang meninggalkan budaya kekerasan dan menggantikannya dengan dialog dan sikap hormat saat berhadapan dengan seorang penjahat sekalipun. Tengok pula bagaimana Andi yang sempat terjerumus menjadi pecandu putaw lantaran mengikuti jejak Bimbim, kemudian insyaf setelah pujaannya itu memutuskan berpaling dari barang haram itu. Dalam salah satu adegan bahkan diperlihatkan bagaimana sang ayah, Poniran berusaha menemui para personil Slank dan Bunda Iffet di belakang panggung untuk mengucapkan terimakasih.
Film ini sesuai judulnya berusaha menghadirkan sebuah perubahan, termasuk dalam diri personil band yang berdiri 27 tahun lalu itu. Kita tak hanya diajak ke belakang panggung konser-konser Slank, mengintip halaman belakang markas Slank di Gang Potlot, Duren Tiga, Jakarta Selatan, tapi juga ke kamar hotel para personel Slank saat mereka tur, bahkan kamar mandi mereka. Kita juga bisa menyaksikan sedikit “sisi gelap” kehidupan mereka saat masih bersahabat dengan narkoba.
Metamorfosa Slank dan Slankers itu terjalin dalam rangkaian rekaman gambar , wawancara dan lagu-lagu Slank seperti Pulau Biru, Kampungan, Generasi Biroe, Virus dan Ku Tak Bisa. Beberapa rekaman gambar (footage) peristiwa sejarah tanah air seperti kerusuhan Mei 1998 dan jajak pendapat Timor-Timur juga melengkapi film berdurasi 98 menit ini.
Film ini rencananya bakal diputar secara bergerilya di 65 kota di Indonesia melalui bioskop alternatif , bukan jaringan bioskop reguler seperti biasanya . Sebagai tahap awal film ini akan diputar di sepuluh kota, seperti Jakarta, Bekasi, Bogor, Malang, hingga Probolinggo, dengan tanda masuk sebesar Rp 15 ribu. Salah satu bentuk bioskop alternatif ini digelar dalam format layar tancap di tempat yang dianggap layak seperti tanah lapang, gedung olah raga, gedung bioskop yang tidak terpakai lagi, sekolah-sekolah hingga perekebunan. Di Jakarta misalnya, film ini akan diputar di Auditorium Ragunan dan Kineforum, Taman Ismail Marzuki.